Rain
Riani
“Hmm,
uda hangat belum”, tanyaku sambil menggenggam erat tanganmu, tangan yang selalu
dingin. Kamu hanya tersenyum simpul. Mobil tiba-tiba mogok di tengah jalan sepi
dan hujan turun pula. Tapi keadaan ini jadi indah karena ada kamu disampingku,
Riani.
When
you’re gone the pieces in my heart are missing you, when yo’re gone ….
Ponselku berbunyi. Carmey memanggil. Kutatap layar ponsel lama. “Angkat aja”,
Riani berbisik. Kutekan tombol hijau,
“Halo…”
“Kamu
dimana beb, aku cape miscallin kamu”
“Mobilku
mogok di tengah hutan-hutan gini. Hujan pula”. Aku tau jawabanku ini membuatmu
kesal. Kamu ga akan pernah puas dengan penjelasanku, dan aku cape akan itu.
“Huft”.
Benar
saja, kamu menghela nafas panjang, pasti saat ini wajahmu kusut bukan main.
“Sayang, aku
ga kenapa-kenapa. Jangan khawatirin aku. Kamu bobo aja ya”
“Dimana
kamu Bima ?”
“Buat
apa, kamu ga usah kesini”
“Dimana
kamu aku tanya”
“Ok ok,
aku di Paris Road”
“OK”.
Telfon
terputus. Dan ku tau saat ini kamu akan cepat-cepat mengenakan sweater,
menyambar kunci mobil, dan segera menemuiku. Kadang aku merasa sangat bahagia
memiliki wanita sepertimu, pengorbananmu, tapi aku juga benci, karena
akhir-akhir ini kamu sering merusak waktuku dengan wanita ini. Waktu yang
jarang kumiliki. Tak seperti waktuku bersamamu.
“Carmey
mau kesini ya, aku pulang sendiri aja ya Bima”, ucap Riani
“Engga,
aku bertanggung jawab anterin kamu balik, lagian sekarang hujan Ian, aku ga
akan biarin kamu sendirian kaya gitu”
“Udala
Bim, aku ga mau terlihat oleh Carmey. Aku ga pantes disini sama kamu sekarang
sementara Carmey bela-belain jauh-jauh datang buat bantuin kamu”
“Ak…”
Belum
sempat aku menyelesaikan kalimatku sorot lampu mobil Carmey sudah menyilaukan,
kini ia tepat di sebelah jendelaku, mengetuk-ngetuk tak sabaran.
“Aku bawa
montir”, ucapmu setengah berteriak di hujan sederas ini.
Langsung
saja montir-montir itu bergegas memperbaiki kerusakan mobilku, sementara
kulihat Riani sudah tak ada disampingku. Carmey menarikku masuk ke mobilnya.
Melaju cepat mengantarku pulang. Sedikit terperangah aku dengan ulah cewe ini.
Sepanjang jalan hanya bisu, aku tau kamu enggan berbicara Carmey. Aku tau kamu
sekarang menahan perih hati bahwa kenyataannya benar prasangkamu kalau aku sudah
gila. Dan hingga malam ini berakhir, tak ada seulas senyum maupun marah di
wajahmu, datar. Kau seperti patung penuh misteri.
***
Siang ini aku janji menemui Riani di
bawah pohon beringin besar di pelataran kampus. Dan aku sedang berlari-lari
kecil kesana. Ku dapati Riani dengan blus putih favoritnya duduk santai sembari
membaca buku di bawah pohon itu. Dari jauh, ku kagumi sosok itu. Begitu
misterius. Namun menyenangkan tiap bersamanya. Tangan Riani yang selalu dingin,
tetapi sorot matanya hangat. Aku tak ingin cepat-cepat menghampirimu biadadariku,
mengagumimu dari jauh membuatku betah. Aku tau, hatiku mulai mendua.
“Sini
Bim, ngapain berdiri aja disitu”, panggilmu.
Akupun
tersadar dari lamunanku dan berlari-lari kecil menghampirimu. Kita habiskan
waktu siang ini bercerita, tertawa, sesekali kamu mencubit pipiku gemas,
seperti yang sering dilakukan Carmey. Oh tidak, Carmey. Kenapa tiba-tiba aku
teringat dia. Oh iya, sejak semalam aku belum mengabarinya. Bodoh, aku tidak
mahir selingkuh, dan sekarang dia pasti mencariku ke seluruh pelosok kampus,
gumamku sambil menggaruk-garuk kepala.
“Ehm,
kenapa BimBimku sayang ???”, tanya Riani manja.
“Eh,
gg.. ga papa Ian.”
“Masa
siih, yauda kalo gitu, jangan mikir macem-macem ya sayang, kan kamu lagi sama
aku”, Riani bergelayut manja di lenganku.
Jujur ku
akui aku sayang Riani, tapi aku lebih dulu mencintai Carmey. Andai saja malam
hujan itu, di tempat itu, aku tidak menemukanmu berdiri menatapku dengan senyum
memukau. Andai waktu itu Carmey tak buat masalah dengan memarahiku hanya
gara-gara aku kehujanan pulang dari kampus. Aku tidak tahu, maafkan aku Carmey.
Aku hanya khilaf. Dan saat ini aku hanya ingin disini, di samping Riani, bukan
disampingmu Carmey.
“BIMA!”.
Suara yang ku kenali khas Carmey mengejutkanku. Aku tergagap.
“Ngomong
sama siapa kamu?”, tanyanya heran.
Ha ?, ya
kulihat Riani menghilang untuk kesekalian kalinya dari pandanganku. Carmey
mengambil tempat duduk disampingku. Meluruskan kakinya, terlihat ia lelah
berjalan mencariku. Wajahnya yang cantik tak lagi berseri. Ia merebahkan
tubuhnya di atas rumput-rumput hijau, memandangi langit. Dan aku hanya terdiam
disisinya.
“Langit
biru ini, salah satu hal yang mengingatkanku padamu”, kenang Carmey. Dan aku
hanya membisu.
“Ingat
kan Bim, waktu itu kamu ngecat seratus mawar merah jadi biru, ngelepas sepuluh
balon warna-warni ke langit sore, dan kasih aku satu kotak coklat bentuk hati
yang mati-matian kamu buat sendiri, sambil bilang, “Would you be mine, from
this second, ‘till my last second”. Dan aku jawab “ I do” sambil meluk kamu
erat-erat. Kamu tau, itu detik-detik yang paling ku tunggu-tunggu setelah lima
bulan lebih mengenalmu, dan mulai detik itu, aku ga mau kehilangan kamu”. Kamu
mulai menitikkan air mata Carmey, perasaan bersalah semakin merasukiku. Ingin
ku hapus namun ku tau masih ada kelanjutannya.
“Uda
setahun lebih Bima. Selama ini kamu selalu baik. Tapi…”
Tapi apa
Car, aku menunggu. Apa kamu tau. Atau kamu hanya ingin menegaskan bahwa aku
sekarang gila, seperti yang orang-orang katakan.
“Tapi
akhir-akhir ini kamu kaya ga anggap aku ada. Bima, sebenarnya masihkah aku di
hati dan pikiranmu”
Hening.
Aku tau kamu tidak butuh jawaban iya atau tidak. Kamu ingin lebih dari sekedar
itu, kamu ingin kejujuran, dan itu yang berat keluar dari mulut lemah ini
Carmey.
“Apa aku
berubah Bima, apa aku buruk di matamu kini…”
“Ataukah
ada wanita lain”
Deg…
Jantungku terenyuh, aku tau Carmey tau semuanya. Tapi ini bukan saat yang
tepat, Carmey aku tak mau kehilanganmu.
“Wanita
yang hanya ada dalam anganmu, Bima”
Apa ??
Apa kamu bilang Riani hanya khayalanku ?. Kamu konyol Car, Riani itu nyata.
“Aku diam
saat banyak orang yang bilang kamu tak waras, kamu sering bicara sendiri,
tersenyum, tertawa, tapi tak ada siapapun di sebelahmu. Tapi aku tak bisa diam
lagi, karena hal itu yang kini menjauhkanmu dariku.”
“Aku ga
begitu Car, kamu dengerin siapa sih. Aku sayang kamu, ga ada yang lain di
hatiku.”
“Bima,
aku lama kenal kamu, dan kamu ga pernah bisa bohongin aku.” Kata-kata terakhir
Carmey sebelum akhirnya dia beranjak dan berlalu pergi.
***
Lama aku berkutat dengan buku-buku di
perpustakaan kampus yang sudah berumur tua ini. Penat dengan sekian banyak
teori dan rumus fisika yang menumpuk di hadapanku, seharusnya aku tak memilih
jurusan ini untuk bangku perkuliahan. Iseng ku jelajahi rak-rak yang hampir tak
tersentuh di bagian utara. Dug. Sesuatu menyandungku. Aku berlutut memungutnya.
Sebuah buku tua yang tebal. Bersampul coklat dengan tulisan yang telah samar
“Diary: Anja Riani”. Buru-buru ku masukkan buku itu ke dalam tas dan bergegas
pulang, hujan mulai turun di luar sana.
***
Malam ini rumah kosong. Biasanya
malam-malam seperti ini Carmey akan ada disini, memasakkan makan malam untukku,
atau sekedar menonton film bersama. Tapi sudah satu minggu sejak kejadian itu,
Carmey terus menjauh. Ku matikan lampu kamarku, kini hanya mengandalkan lampu
belajar di atas meja, aku duduk, mencari posisi senyaman mungkin. Ku buka buku
yang tadi siang ku temukan. Berisi berbagai tulisan tentang perasaan seorang
gadis.
“11 Juli
1953: Dia duduk tepat di depanku, aku senang sekali. Entah kenapa dia memilih
duduk di sudut kelas yang pengap ini. Untuk orang sepertimu, Raditya Bimo yang populer
tentu akan memilih duduk di samping Carola Angeline si ratu kampus yang
berdarah campuran Belanda, yang bagiku seorang penjajah. Penjajah hatiku yang
mengharapkanmu, Bimo, atau dengan panggilan kesayanganku, BimBim”
Aaaaaargh.
“BimBim” sama seperti panggilan Ian untukku. Kakiku mulai gemetar. Ku lanjutkan
membaca kisah dalam diary gadis itu.
“27
November 1954: Sudah setahun mengagumimu, kini kamu sudah mulai dekat denganku.
Menghabiskan banyak waktu bersama. Tapi ini punya akibat buruk untukku Bimo,
Carola iri padaku. Sudah dua hari ini ia meletakkan permen karet di kursiku dan
melumuri tasku dengan lem. Hari ini lebih parah, ia mendorongku hingga aku
jatuh ke danau. Aku tidak tahan Bimo…”
Denyut
jantungku ku rasakan semakin cepat. Rianiku, inikah Rianiku.
Mengapa
namanya sama. Inikah jawaban mengapa tanganmu selalu dingin. Mengapa kamu
selalu menghilang secara tiba-tiba. Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Aku berlari
turun dan membukakan pintu.
“………Hingga
tanggal 29 November 1954, di tengah hujan Raditya Bimo menemukan teman sekelasnya,
Anja Riani terbaring di bawah pohon beringin besar di
pelataran kampus. Saat itu sebenarnya Bimo ingin katakan cinta. Lambat di
ketahui, Riani meninggal tenggelam di danau setelah Carola mendorongnya jatuh.
Sejak saat itu Carola menghilang, Bimo di kurung keluarganya karena mulai tidak
waras. Sedangkan Riani sendiri, masih sering berjalan di tempat-tempat tertentu
di kampus dimana ia dulu sering memperhatikan Bimo, di perpustakaan, di
laboratorium fisika, dan di bawah pohon beringin, saat hujan ………”
Seketika
aku terjatuh setelah mendengarkan penuturan Carmey…
***
Created
: 11/07/2011