Tuesday 16 October 2012

Cerpen ~ Rain Riani


Rain Riani

            “Hmm, uda hangat belum”, tanyaku sambil menggenggam erat tanganmu, tangan yang selalu dingin. Kamu hanya tersenyum simpul. Mobil tiba-tiba mogok di tengah jalan sepi dan hujan turun pula. Tapi keadaan ini jadi indah karena ada kamu disampingku, Riani.
        When you’re gone the pieces in my heart are missing you, when yo’re gone …. Ponselku berbunyi. Carmey memanggil. Kutatap layar ponsel lama. “Angkat aja”, Riani berbisik. Kutekan tombol hijau,
“Halo…”
“Kamu dimana beb, aku cape miscallin kamu”
“Mobilku mogok di tengah hutan-hutan gini. Hujan pula”. Aku tau jawabanku ini membuatmu kesal. Kamu ga akan pernah puas dengan penjelasanku, dan aku cape akan itu.
“Huft”.
Benar saja, kamu menghela nafas panjang, pasti saat ini wajahmu kusut bukan main.
“Sayang, aku ga kenapa-kenapa. Jangan khawatirin aku. Kamu bobo aja ya”
“Dimana kamu Bima ?”
“Buat apa, kamu ga usah kesini”
“Dimana kamu aku tanya”
“Ok ok, aku di Paris Road”
“OK”.
Telfon terputus. Dan ku tau saat ini kamu akan cepat-cepat mengenakan sweater, menyambar kunci mobil, dan segera menemuiku. Kadang aku merasa sangat bahagia memiliki wanita sepertimu, pengorbananmu, tapi aku juga benci, karena akhir-akhir ini kamu sering merusak waktuku dengan wanita ini. Waktu yang jarang kumiliki. Tak seperti waktuku bersamamu.
“Carmey mau kesini ya, aku pulang sendiri aja ya Bima”, ucap Riani
“Engga, aku bertanggung jawab anterin kamu balik, lagian sekarang hujan Ian, aku ga akan biarin kamu sendirian kaya gitu”
“Udala Bim, aku ga mau terlihat oleh Carmey. Aku ga pantes disini sama kamu sekarang sementara Carmey bela-belain jauh-jauh datang buat bantuin kamu”
“Ak…”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku sorot lampu mobil Carmey sudah menyilaukan, kini ia tepat di sebelah jendelaku, mengetuk-ngetuk tak sabaran.
“Aku bawa montir”, ucapmu setengah berteriak di hujan sederas ini.
Langsung saja montir-montir itu bergegas memperbaiki kerusakan mobilku, sementara kulihat Riani sudah tak ada disampingku. Carmey menarikku masuk ke mobilnya. Melaju cepat mengantarku pulang. Sedikit terperangah aku dengan ulah cewe ini. Sepanjang jalan hanya bisu, aku tau kamu enggan berbicara Carmey. Aku tau kamu sekarang menahan perih hati bahwa kenyataannya benar prasangkamu kalau aku sudah gila. Dan hingga malam ini berakhir, tak ada seulas senyum maupun marah di wajahmu, datar. Kau seperti patung penuh misteri.
***
        Siang ini aku janji menemui Riani di bawah pohon beringin besar di pelataran kampus. Dan aku sedang berlari-lari kecil kesana. Ku dapati Riani dengan blus putih favoritnya duduk santai sembari membaca buku di bawah pohon itu. Dari jauh, ku kagumi sosok itu. Begitu misterius. Namun menyenangkan tiap bersamanya. Tangan Riani yang selalu dingin, tetapi sorot matanya hangat. Aku tak ingin cepat-cepat menghampirimu biadadariku, mengagumimu dari jauh membuatku betah. Aku tau, hatiku mulai mendua.
“Sini Bim, ngapain berdiri aja disitu”, panggilmu.
Akupun tersadar dari lamunanku dan berlari-lari kecil menghampirimu. Kita habiskan waktu siang ini bercerita, tertawa, sesekali kamu mencubit pipiku gemas, seperti yang sering dilakukan Carmey. Oh tidak, Carmey. Kenapa tiba-tiba aku teringat dia. Oh iya, sejak semalam aku belum mengabarinya. Bodoh, aku tidak mahir selingkuh, dan sekarang dia pasti mencariku ke seluruh pelosok kampus, gumamku sambil menggaruk-garuk kepala.
“Ehm, kenapa BimBimku sayang ???”, tanya Riani manja.
“Eh, gg..  ga papa Ian.”
“Masa siih, yauda kalo gitu, jangan mikir macem-macem ya sayang, kan kamu lagi sama aku”, Riani bergelayut manja di lenganku.
Jujur ku akui aku sayang Riani, tapi aku lebih dulu mencintai Carmey. Andai saja malam hujan itu, di tempat itu, aku tidak menemukanmu berdiri menatapku dengan senyum memukau. Andai waktu itu Carmey tak buat masalah dengan memarahiku hanya gara-gara aku kehujanan pulang dari kampus. Aku tidak tahu, maafkan aku Carmey. Aku hanya khilaf. Dan saat ini aku hanya ingin disini, di samping Riani, bukan disampingmu Carmey.
“BIMA!”. Suara yang ku kenali khas Carmey mengejutkanku. Aku tergagap.
“Ngomong sama siapa kamu?”, tanyanya heran.
Ha ?, ya kulihat Riani menghilang untuk kesekalian kalinya dari pandanganku. Carmey mengambil tempat duduk disampingku. Meluruskan kakinya, terlihat ia lelah berjalan mencariku. Wajahnya yang cantik tak lagi berseri. Ia merebahkan tubuhnya di atas rumput-rumput hijau, memandangi langit. Dan aku hanya terdiam disisinya.
“Langit biru ini, salah satu hal yang mengingatkanku padamu”, kenang Carmey. Dan aku hanya membisu.
“Ingat kan Bim, waktu itu kamu ngecat seratus mawar merah jadi biru, ngelepas sepuluh balon warna-warni ke langit sore, dan kasih aku satu kotak coklat bentuk hati yang mati-matian kamu buat sendiri, sambil bilang, “Would you be mine, from this second, ‘till my last second”. Dan aku jawab “ I do” sambil meluk kamu erat-erat. Kamu tau, itu detik-detik yang paling ku tunggu-tunggu setelah lima bulan lebih mengenalmu, dan mulai detik itu, aku ga mau kehilangan kamu”. Kamu mulai menitikkan air mata Carmey, perasaan bersalah semakin merasukiku. Ingin ku hapus namun ku tau masih ada kelanjutannya.
“Uda setahun lebih Bima. Selama ini kamu selalu baik. Tapi…”
Tapi apa Car, aku menunggu. Apa kamu tau. Atau kamu hanya ingin menegaskan bahwa aku sekarang gila, seperti yang orang-orang katakan.
“Tapi akhir-akhir ini kamu kaya ga anggap aku ada. Bima, sebenarnya masihkah aku di hati dan pikiranmu”
Hening. Aku tau kamu tidak butuh jawaban iya atau tidak. Kamu ingin lebih dari sekedar itu, kamu ingin kejujuran, dan itu yang berat keluar dari mulut lemah ini Carmey.
“Apa aku berubah Bima, apa aku buruk di matamu kini…”
“Ataukah ada wanita lain”
Deg… Jantungku terenyuh, aku tau Carmey tau semuanya. Tapi ini bukan saat yang tepat, Carmey aku tak mau kehilanganmu.
“Wanita yang hanya ada dalam anganmu, Bima”
Apa ?? Apa kamu bilang Riani hanya khayalanku ?. Kamu konyol Car, Riani itu nyata.
“Aku diam saat banyak orang yang bilang kamu tak waras, kamu sering bicara sendiri, tersenyum, tertawa, tapi tak ada siapapun di sebelahmu. Tapi aku tak bisa diam lagi, karena hal itu yang kini menjauhkanmu dariku.”
“Aku ga begitu Car, kamu dengerin siapa sih. Aku sayang kamu, ga ada yang lain di hatiku.”
“Bima, aku lama kenal kamu, dan kamu ga pernah bisa bohongin aku.” Kata-kata terakhir Carmey sebelum akhirnya dia beranjak dan berlalu pergi.
***
        Lama aku berkutat dengan buku-buku di perpustakaan kampus yang sudah berumur tua ini. Penat dengan sekian banyak teori dan rumus fisika yang menumpuk di hadapanku, seharusnya aku tak memilih jurusan ini untuk bangku perkuliahan. Iseng ku jelajahi rak-rak yang hampir tak tersentuh di bagian utara. Dug. Sesuatu menyandungku. Aku berlutut memungutnya. Sebuah buku tua yang tebal. Bersampul coklat dengan tulisan yang telah samar “Diary: Anja Riani”. Buru-buru ku masukkan buku itu ke dalam tas dan bergegas pulang, hujan mulai turun di luar sana.
***
        Malam ini rumah kosong. Biasanya malam-malam seperti ini Carmey akan ada disini, memasakkan makan malam untukku, atau sekedar menonton film bersama. Tapi sudah satu minggu sejak kejadian itu, Carmey terus menjauh. Ku matikan lampu kamarku, kini hanya mengandalkan lampu belajar di atas meja, aku duduk, mencari posisi senyaman mungkin. Ku buka buku yang tadi siang ku temukan. Berisi berbagai tulisan tentang perasaan seorang gadis.
“11 Juli 1953: Dia duduk tepat di depanku, aku senang sekali. Entah kenapa dia memilih duduk di sudut kelas yang pengap ini. Untuk orang sepertimu, Raditya Bimo yang populer tentu akan memilih duduk di samping Carola Angeline si ratu kampus yang berdarah campuran Belanda, yang bagiku seorang penjajah. Penjajah hatiku yang mengharapkanmu, Bimo, atau dengan panggilan kesayanganku, BimBim”
Aaaaaargh. “BimBim” sama seperti panggilan Ian untukku. Kakiku mulai gemetar. Ku lanjutkan membaca kisah dalam diary gadis itu.
“27 November 1954: Sudah setahun mengagumimu, kini kamu sudah mulai dekat denganku. Menghabiskan banyak waktu bersama. Tapi ini punya akibat buruk untukku Bimo, Carola iri padaku. Sudah dua hari ini ia meletakkan permen karet di kursiku dan melumuri tasku dengan lem. Hari ini lebih parah, ia mendorongku hingga aku jatuh ke danau. Aku tidak tahan Bimo…”
Denyut jantungku ku rasakan semakin cepat. Rianiku, inikah Rianiku.
Mengapa namanya sama. Inikah jawaban mengapa tanganmu selalu dingin. Mengapa kamu selalu menghilang secara tiba-tiba. Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Aku berlari turun dan membukakan pintu.
“………Hingga tanggal 29 November 1954, di tengah hujan Raditya Bimo menemukan teman sekelasnya, Anja Riani terbaring di bawah pohon beringin besar di pelataran kampus. Saat itu sebenarnya Bimo ingin katakan cinta. Lambat di ketahui, Riani meninggal tenggelam di danau setelah Carola mendorongnya jatuh. Sejak saat itu Carola menghilang, Bimo di kurung keluarganya karena mulai tidak waras. Sedangkan Riani sendiri, masih sering berjalan di tempat-tempat tertentu di kampus dimana ia dulu sering memperhatikan Bimo, di perpustakaan, di laboratorium fisika, dan di bawah pohon beringin, saat hujan ………”
Seketika aku terjatuh setelah mendengarkan penuturan Carmey…
***
        Created : 11/07/2011