Monday 15 October 2012

Cerpen ~ Berhenti, Maya

Berhenti, Maya

Berhenti Maya, jangan berlari lagi. Aku tak bisa mengejarmu, kau terlanjur di dunia yang tak bisa ku jangkau. Kau di duniamu sendiri. Dunia yang tak mengijinkan siapa pun ada disana. Selain dirimu sendiri.
***
Hujan di luar sana. Jendela kaca di sebelahku terus dialiri air. Berembun. Tak lekang mataku menatap keluar, mengamati kota kecil ini diguyur hujan, jalanan lengang. Selengang hatiku kini. Tanpamu, Maya.
Fikiranku mulai mengandai-andai. Memori otakku memutar kembali potret kejadian setahun yang lalu, saat pertama kali kulihat dirimu.
Kala itu kita sedang sama-sama menghadiri sebuah diskusi IT. Aku sedang menggebu-gebu ingin menggempur para peserta lain. Tapi kau yang berdiri di depan sana, memberi materi. Tak ku pungkiri saat itu aku melihatmu biasa saja, mungkin hanya sekedar wanita pintar dan aktif, biasa di mataku. Namun entah apa yang membuatku, terus menatapmu. Bukan mendengar penjelasanmu, hanya sekedar mengagumi caramu berbicara, atau tersenyum. Dan kau menoleh ke arahku, mungkin kau heran melihatku, tapi bibirmu mengulas sebuah senyum manis. Membuatku sadar kalau saat itu, aku sedang terpesona olehmu. Seketika hilang semangatku. Hanya kamu yang memenuhi pikiranku.
Aku ingin tau siapa kamu, kuberanikan diri menghampirimu setelah acara selesai. Tapi kamu ternyata benar-benar misterius. Kamu pintar mempercepat waktu agar aku tak bisa menguak jati dirimu.
Dan sejak saat itu aku berjanji aku akan mencari tau siapa kamu sebenarnya, Maya.
***
Sesuai janjiku, satu persatu identitasmu kuketahui. Maya Aidira, murid SMA kelas 2, hanya setahun dibawahku. Cerdas, pintar bergaul. Aku tau dimana kamu tinggal, siapa orang tuamu, siapa teman-temanmu, dimana kamu sering menghabiskan waktu luangmu, semua tentang dirimu. Dan semuanya kuketahui bukan darimu. Tapi dari lingkunganmu.
Hingga aku merasa benar-benar tertarik olehmu.
Satu malam, aku gelisah. Memikirkanmu. Kutatap lekat layar ponselku. Haruskah kukirim pesan untukmu ?. Satu jam. Dua jam. Berlalu. Kursor ponselku masih berkedip-kedip. Kosong. Jam ketiga, satu persatu huruf mulai mengisi layar kecil itu.
“Ade, lg ap nih?,, Uda makan belum?”
Send to Maya. Terkirim.
2 menit berlalu, satu pesan masuk ke ponselku.
“Lg ngrjain tgas nih, ga lper lg ah mlem* gni. Abg sndri lg ap? Kok blum bbo?”
Seulas senyum tiba-tiba muncul dari bibirku. Aku senang. Hingga kejadian ini berlanjut berhari-hari. Semakin hari, semakin dekat. Dan aku bahagia.
3 minggu sudah berlalu, hari ini adalah hari sabtu. Hari dimana para lelaki akan buru-buru membuat janji kencan malam minggu dengan kekasihnya. Begitupun aku, kuberanikan diri mengirim pesan padamu.
“Ade, sbuk ga?”
“Engga, nganggur :D.. knapa bg, mw ngajak jlan yaa ?? :D”
“Iy nih, pngen ktmu kmu de :P.. yuk jlan yuk :P”
“Yg bner ??? :O . Boleh deh, jmput yaa XD”
“Sip, dandan yg cantik :P”
Akhirnya, setelah sekian lama tak melihatmu. Malam ini aku akan menghabiskan waktu bersamamu. Berdua saja.
Pukul 8 tepat aku menjemputmu. Kamu makin cantik, Maya. Kulitmu memang tak seputih wanita cantik lainnya, atau tubuhmu tak selangsing wanita-wanita lain. Tapi kulit coklat mudamu tak pernah bisa menutupi terangnya hatimu dimataku. Bola mata hitam bulat besar, yang paling kusuka darimu. Tapi malah hilang ketika kau tertawa, karena pipimu yang menggembung lucu. Menggemaskan. Dan kamu benar-benar cantik di mataku.
Malam itu berlalu indah. Tak berhenti aku tertawa disisimu. Kita saling berbagi cerita. Tentang aku. Tentang kamu. Tapi tak ada tentang kita.
***
Jendela yang berembun disebelahku semakin mengabur. Perlahan kuletakkan jemariku, mengukir sesuatu. Sebuah lambang. Lambang hati. Dengan huruf R disisi kirinya. Dan. M disisi kanannya. Kutatap lambang itu. Pias.
“Pergilah, kini ku melepasmu. Semoga kau bahagia, dengannya. Kujadikan kekasih dalam hati, semua tinggal kisah. Kisah kasih...”
“Ini lagu kesukaan ade lho”. Ucapmu riang kala itu. “Karena waktu itu, pas ade mulai suka sama seorang cowo, mulai sayang. Ternyata dia ga punya rasa yang sama. Awalnya de sabar nunggu dia cinta sama de. Tapi begitu ade tau, dia suka sama cewe laen. Perih hati ade. Tapi ya sudahlah. Mau di bilang apa. Hhaha, sedih ya nasib ade bang”. Kamu masih saja bercerita dengan wajah tersenyum, padahal kala itu hatimu begitu sakit, kau terpaksa mengingat masa lalu.
Itu lah yang membuatku tertarik padamu. Kamu wanita hebat. Punya segala cara hilangkan masalah yang kau hadapi. 120 jam adalah waktu terlama bagimu untuk menghapus airmata akibat masalah yang menderamu. Kamu wanita kuat.
***
Tak butuh waktu lama untuk kusadari diri ini semakin mencintaimu. Namun kita tak pernah punya waktu untuk bertemu. Aku merasa tidak jantan rasanya jika mengungkapkan perasaanku tak sambil menggenggam erat tanganmu. Menatap matamu.
Dan tak bisa pula aku menunggu lagi. Rasa ini kian hari kian memuncak. Aku tak ingin lagi dengar ceritamu tentang laki-laki lain. Aku ingin kau bercerita tentang aku. Aku ingin aku yang memilikimu. Aku yang menjagamu. Membahagiakanmu. Hanya aku, Maya. Hingga akhirnya suatu malam kukirim pesan untukmu.
“Huft, ga bsa boong. Klo abg mmang syang sma ade. Klo abg cnta sma ade. Abg mw hri ini, bsok, n slamanyaa, trus d smping ade. Ade, jadi pcar abg y?”
Beberapa saat hening. Pesanku tak kunjung kau balas. Ada apa Maya ?. Salahkah caraku. Waktu terus berlalu. Pukul 02.00, pesanmu masuk.
“Abg, maafin ade. Abg tw kn ade ga bsa cnta sma cwo laen slaen dia. Adee ga mau apa yg qta cba* jlani mlah bwat abg skit ujung*nya. Ade bner* mnta maaf. Tpi, ade jnji ttep jdi adenyaa bg yg pling mnis J
Seketika tubuhku tegang. Hatiku bagai tertusuk hingga ke ulunya. Aku kecewa, Maya. Namun aku tak ingin egois. Tak ingin kamu mencintaiku dengan terpaksa. Maka aku memutuskan, untuk mencintaimu seorang diri. Satu pesan terkirim lagi untukmu.
“Hmm, gpp de J. Abg jga gamau smuanya trpksa. Mkasi msi mw jd ade abg yg pling mnis :D. Hhaha, adekuh trsyang”
***
Kuhapus lambang hati diantara inisial namaku dan namamu. Mencoba menyeruput segelas capucino dingin. Menenangkan pikiranku. Menggigil. Kepalaku mulai merespon hawa dingin yang terlalu berlebih. Kuharap kamu ada disini, Maya. Satu menit saja. Maka suhu tubuhku pasti kembali normal. Hangat.
***
Ingatkah kamu malam itu, Maya. Ketika kita menghabiskan waktu bersama di bawah lautan bintang. Taukah kamu betapa aku menunggu saat itu, itu adalah pertama kalinya kamu menerima ajakanku setelah 24 kali kamu menolaknya semenjak aku menyatakan perasaanku padamu.
Malam itu indah, kulihat sinar matamu bahagia. Senyum tak lepas menghiasi bibirmu. Mempesonakan aku.
Namun ku tau jauh di lubuk hatimu, kamu kecewa. Mengapa aku yang disampingmu. Mengapa bukan dia. Ku tau kamu terus berdoa agar suatu hari nanti ada malam seperti ini, dimana lelaki itu yang duduk disebelahmu, merangkulmu, bukan aku. Lelaki itu, lelaki yang sangat kau cintai. Lelaki yang merampas segala kesempatanku untuk merasakan dicintai olehmu. Karena dia menahan semua cintamu. Aku benci lelaki itu, Maya.
Perlahan airmata mulai menitik di ujung matamu. Aku melihatnya, Maya. Begitu jelas. Perih hatiku. Aku telah menunggu 2 bulan untuk bertemu denganmu, dan tak bisa menunggu lagi untuk membuatmu berhenti menangis. Aku tak bisa menunggu. Kudekap tubuhmu perlahan. Dan airmata itu serta merta turun membasahi pipimu.
Taukah kamu, Maya. Malam itu aku pun menangis. Aku tak kuasa melihatmu, wanita yang kucintai disakiti oleh laki-laki itu. Karna aku tau begitu besar pengharapanmu. Begitu lama penantianmu. Namun ia tak kunjung berujung padamu. Aku tau kamu kecewa. Karena seperti itu juga yang kurasakan padamu.
Dan malam itu juga malam terakhir aku melihatmu. Tak ku sangka wanita setegar dirimu, memilih jalan untuk melupakan semuanya, demi sebuah jalan yang baru. Semuanya. Termasuk aku.
***
“Siapa sih yang gamau jadi pacar seorang Rafa Rakadika. Uda pinter, baik, ganteng, perfect banget deh. Aku aja bangga jadi adikmu bang”
Andai kamu juga mau Maya, batinku sambil menatapmu.
Miris.
Tak sadarkah kamu betapa kamu kucinta. Aku tak butuh apa pun. Yang kubutuhkan hanya satu kata cinta darimu. Cukup bagiku, Maya.
***
Berhenti Maya. Menolehlah. Lihat aku. Aku mencintaimu.
***
Kugerakkan garpu di hadapanku sembarang. Mie yang sedari tadi ku pesan mulai beku sebelum habis ku santap. Aku galau. Andai aku tau siapa laki-laki itu, pasti akan ku paksa dia untuk mencoba mencintaimu. Hingga kau tak perlu meninggalkan segalanya seperti ini. Walau ku tau cara itu juga tak membuatku bisa memilikimu, malah hanya menyakitiku, tapi kamu tentu tau, tak ada hal yang tak ku lakukan untukmu.
Kata-katamu hari itu masih terngiang di telingaku.
“Aku tak bisa seperti ini terus. Sudah terlalu lama aku hidup didera. Dan kutau aku menyakitimu. Jadi lebih baik aku pergi. Agar tak ada lagi yang menderita. Kau, aku, maupun dirinya, kita tak pantas didera. Namun entah kenapa kita bisa mendera satu sama lain. Aku hanya ingin menghentikannya sebelum semuanya terlambat”
Dan sejak saat itulah kamu masuk keduniamu sendiri. Terkurung. Tanpa sedikitpun bisa aku masuk kedalamnya. Pesanku tak pernah kamu balas lagi. Telfonku tak pernah kamu jawab. Aku sadar sudah begitu jauh kita terpisah.
“Aku akan menunggumu. Hingga kau siap kembali padaku. Disini. Setiap hari sabtu. Hari pertama kita bertemu”
Kamu acuhkan memang kata-kataku. Tapi aku serius. Ini sudah sabtu ke 20 aku menunggumu disini. Di tempat yang dulu sering kita datangi bersama. Menghabiskan waktu sambil online, atau sekedar bercerita. Dan hari ini pun, kamu sepertinya tak akan datang.
***
“Maya berubah sekarang, entah kenapa. Tapi dia jadi tertutup. Ga jarang nangis di kelas. Tapi ga ada yang tau kenapa” urai temanmu. Membuatku semakin khawatir akan keadaanmu. Terakhir kali aku melihatmu, ketika kita tak sengaja bertemu di sebuah toko kaset. Kau memang berubah. Tubuh itu semakin kurus. Matamu tak lagi bercahaya seperti dulu. Dan yang membuatku semakin sedih, kamu malah menjauh ketika melihatku.
***
Berhenti Maya. Tingkahmu semakin membuatku terluka.
Tak terasa pipiku hangat. Ternyata airmata perlahan mulai membasahi pipiku. Sabtu ke 20, kamu tak datang. Akankah ada sabtu-sabtu berikutnya aku disini menunggumu. Kurasakan hatiku muak. Mungkin rasa sayang ini belum cukup untuk bahagiakanmu. Aku sadar cinta tak harus memiliki. Dan aku sadar, cinta tak seharusnya menyakiti. Maka hari ini kuputuskan, untuk lupakanmu. Lupakan cinta yang pernah setulus hati kuberi padamu. Suatu hari, keputusanku hari ini akan membuat kita bahagia. Kau benar, kita tak seharusnya saling mendera.
Aku beranjak dari kursiku. Hendak pergi meninggalkan tempat ini, selamanya. Kulihat dikejauhan seorang wanita berjalan tergesa-gesa memasuki cafe. Matanya mencari seseorang. Mata itu, mata yang sangat ku kenali. Dan kini bersinar seperti saat pertama kali aku melihatnya. Kini ia berada tepat di depanku.
“Aku siap menjalani lagi semuanya denganmu” ucapnya pasti.
***
Created : 26/02/2011