Berhenti,
Maya
Berhenti Maya,
jangan berlari lagi. Aku tak bisa mengejarmu, kau terlanjur di dunia yang tak
bisa ku jangkau. Kau di duniamu sendiri. Dunia yang tak mengijinkan siapa pun
ada disana. Selain dirimu sendiri.
***
Hujan di
luar sana. Jendela kaca di sebelahku terus dialiri air. Berembun. Tak lekang
mataku menatap keluar, mengamati kota kecil ini diguyur hujan, jalanan lengang.
Selengang hatiku kini. Tanpamu, Maya.
Fikiranku mulai mengandai-andai. Memori otakku memutar kembali
potret kejadian setahun yang lalu, saat pertama kali kulihat dirimu.
Kala itu kita sedang sama-sama menghadiri sebuah diskusi IT.
Aku sedang menggebu-gebu ingin menggempur para peserta lain. Tapi kau yang
berdiri di depan sana, memberi materi. Tak ku pungkiri saat itu aku melihatmu
biasa saja, mungkin hanya sekedar wanita pintar dan aktif, biasa di mataku.
Namun entah apa yang membuatku, terus menatapmu. Bukan mendengar penjelasanmu,
hanya sekedar mengagumi caramu berbicara, atau tersenyum. Dan kau menoleh ke
arahku, mungkin kau heran melihatku, tapi bibirmu mengulas sebuah senyum manis.
Membuatku sadar kalau saat itu, aku sedang terpesona olehmu. Seketika hilang
semangatku. Hanya kamu yang memenuhi pikiranku.
Aku ingin tau siapa kamu, kuberanikan diri menghampirimu
setelah acara selesai. Tapi kamu ternyata benar-benar misterius. Kamu pintar
mempercepat waktu agar aku tak bisa menguak jati dirimu.
Dan sejak saat itu aku berjanji aku akan mencari tau siapa
kamu sebenarnya, Maya.
***
Sesuai janjiku, satu persatu identitasmu kuketahui. Maya
Aidira, murid SMA kelas 2, hanya setahun dibawahku. Cerdas, pintar bergaul. Aku
tau dimana kamu tinggal, siapa orang tuamu, siapa teman-temanmu, dimana kamu
sering menghabiskan waktu luangmu, semua tentang dirimu. Dan semuanya kuketahui
bukan darimu. Tapi dari lingkunganmu.
Hingga aku merasa benar-benar tertarik olehmu.
Satu malam, aku gelisah. Memikirkanmu. Kutatap lekat layar
ponselku. Haruskah kukirim pesan untukmu ?. Satu jam. Dua jam. Berlalu. Kursor
ponselku masih berkedip-kedip. Kosong. Jam ketiga, satu persatu huruf mulai
mengisi layar kecil itu.
“Ade, lg ap nih?,, Uda
makan belum?”
Send to Maya. Terkirim.
2 menit berlalu, satu pesan masuk ke ponselku.
“Lg ngrjain tgas nih, ga
lper lg ah mlem* gni. Abg sndri lg ap? Kok blum bbo?”
Seulas senyum tiba-tiba muncul dari bibirku. Aku senang.
Hingga kejadian ini berlanjut berhari-hari. Semakin hari, semakin dekat. Dan
aku bahagia.
3 minggu sudah berlalu, hari ini adalah hari sabtu. Hari
dimana para lelaki akan buru-buru membuat janji kencan malam minggu dengan
kekasihnya. Begitupun aku, kuberanikan diri mengirim pesan padamu.
“Ade, sbuk ga?”
“Engga, nganggur :D..
knapa bg, mw ngajak jlan yaa ?? :D”
“Iy nih, pngen ktmu kmu de
:P.. yuk jlan yuk :P”
“Yg bner ??? :O . Boleh deh,
jmput yaa XD”
“Sip, dandan yg cantik :P”
Akhirnya, setelah sekian lama tak melihatmu. Malam ini aku akan
menghabiskan waktu bersamamu. Berdua saja.
Pukul 8 tepat aku menjemputmu. Kamu makin cantik, Maya.
Kulitmu memang tak seputih wanita cantik lainnya, atau tubuhmu tak selangsing
wanita-wanita lain. Tapi kulit coklat mudamu tak pernah bisa menutupi terangnya
hatimu dimataku. Bola mata hitam bulat besar, yang paling kusuka darimu. Tapi
malah hilang ketika kau tertawa, karena pipimu yang menggembung lucu.
Menggemaskan. Dan kamu benar-benar cantik di mataku.
Malam itu berlalu indah. Tak berhenti aku tertawa disisimu.
Kita saling berbagi cerita. Tentang aku. Tentang kamu. Tapi tak ada tentang
kita.
***
Jendela yang berembun disebelahku semakin mengabur. Perlahan
kuletakkan jemariku, mengukir sesuatu. Sebuah lambang. Lambang hati. Dengan
huruf R disisi kirinya. Dan. M disisi kanannya. Kutatap lambang itu. Pias.
“Pergilah, kini ku
melepasmu. Semoga kau bahagia, dengannya. Kujadikan kekasih dalam hati, semua
tinggal kisah. Kisah kasih...”
“Ini lagu kesukaan ade
lho”.
Ucapmu riang kala itu. “Karena waktu itu,
pas ade mulai suka sama seorang cowo, mulai sayang. Ternyata dia ga punya rasa
yang sama. Awalnya de sabar nunggu dia cinta sama de. Tapi begitu ade tau, dia
suka sama cewe laen. Perih hati ade. Tapi ya sudahlah. Mau di bilang apa.
Hhaha, sedih ya nasib ade bang”. Kamu masih saja bercerita dengan wajah
tersenyum, padahal kala itu hatimu begitu sakit, kau terpaksa mengingat masa
lalu.
Itu lah yang membuatku tertarik padamu. Kamu wanita hebat.
Punya segala cara hilangkan masalah yang kau hadapi. 120 jam adalah waktu
terlama bagimu untuk menghapus airmata akibat masalah yang menderamu. Kamu
wanita kuat.
***
Tak butuh waktu lama untuk kusadari diri ini semakin
mencintaimu. Namun kita tak pernah punya waktu untuk bertemu. Aku merasa tidak
jantan rasanya jika mengungkapkan perasaanku tak sambil menggenggam erat
tanganmu. Menatap matamu.
Dan tak bisa pula aku menunggu lagi. Rasa ini kian hari kian
memuncak. Aku tak ingin lagi dengar ceritamu tentang laki-laki lain. Aku ingin
kau bercerita tentang aku. Aku ingin aku yang memilikimu. Aku yang menjagamu.
Membahagiakanmu. Hanya aku, Maya. Hingga akhirnya suatu malam kukirim pesan
untukmu.
“Huft, ga bsa boong. Klo abg
mmang syang sma ade. Klo abg cnta sma ade. Abg mw hri ini, bsok, n slamanyaa,
trus d smping ade. Ade, jadi pcar abg y?”
Beberapa saat hening. Pesanku tak kunjung kau balas. Ada apa Maya
?. Salahkah caraku. Waktu terus berlalu. Pukul 02.00, pesanmu masuk.
“Abg, maafin ade. Abg tw
kn ade ga bsa cnta sma cwo laen slaen dia. Adee ga mau apa yg qta cba* jlani
mlah bwat abg skit ujung*nya. Ade bner* mnta maaf. Tpi, ade jnji ttep jdi
adenyaa bg yg pling mnis J”
Seketika tubuhku tegang. Hatiku bagai tertusuk hingga ke
ulunya. Aku kecewa, Maya. Namun aku tak ingin egois. Tak ingin kamu mencintaiku
dengan terpaksa. Maka aku memutuskan, untuk mencintaimu seorang diri. Satu
pesan terkirim lagi untukmu.
“Hmm, gpp de J. Abg jga gamau smuanya trpksa. Mkasi msi mw jd ade abg yg
pling mnis :D. Hhaha, adekuh trsyang”
***
Kuhapus lambang hati diantara inisial namaku dan namamu.
Mencoba menyeruput segelas capucino dingin. Menenangkan pikiranku. Menggigil.
Kepalaku mulai merespon hawa dingin yang terlalu berlebih. Kuharap kamu ada
disini, Maya. Satu menit saja. Maka suhu tubuhku pasti kembali normal. Hangat.
***
Ingatkah kamu malam itu, Maya. Ketika kita menghabiskan waktu
bersama di bawah lautan bintang. Taukah kamu betapa aku menunggu saat itu, itu
adalah pertama kalinya kamu menerima ajakanku setelah 24 kali kamu menolaknya
semenjak aku menyatakan perasaanku padamu.
Malam itu indah, kulihat sinar matamu bahagia. Senyum tak
lepas menghiasi bibirmu. Mempesonakan aku.
Namun ku tau jauh di lubuk hatimu, kamu kecewa. Mengapa aku
yang disampingmu. Mengapa bukan dia. Ku tau kamu terus berdoa agar suatu hari
nanti ada malam seperti ini, dimana lelaki itu yang duduk disebelahmu,
merangkulmu, bukan aku. Lelaki itu, lelaki yang sangat kau cintai. Lelaki yang
merampas segala kesempatanku untuk merasakan dicintai olehmu. Karena dia
menahan semua cintamu. Aku benci lelaki itu, Maya.
Perlahan airmata mulai menitik di ujung matamu. Aku
melihatnya, Maya. Begitu jelas. Perih hatiku. Aku telah menunggu 2 bulan untuk
bertemu denganmu, dan tak bisa menunggu lagi untuk membuatmu berhenti menangis.
Aku tak bisa menunggu. Kudekap tubuhmu perlahan. Dan airmata itu serta merta
turun membasahi pipimu.
Taukah kamu, Maya. Malam itu aku pun menangis. Aku tak kuasa
melihatmu, wanita yang kucintai disakiti oleh laki-laki itu. Karna aku tau
begitu besar pengharapanmu. Begitu lama penantianmu. Namun ia tak kunjung
berujung padamu. Aku tau kamu kecewa. Karena seperti itu juga yang kurasakan
padamu.
Dan malam itu juga malam terakhir aku melihatmu. Tak ku sangka
wanita setegar dirimu, memilih jalan untuk melupakan semuanya, demi sebuah
jalan yang baru. Semuanya. Termasuk aku.
***
“Siapa sih yang gamau jadi
pacar seorang Rafa Rakadika. Uda pinter, baik, ganteng, perfect banget deh. Aku
aja bangga jadi adikmu bang”
Andai kamu juga mau Maya, batinku sambil menatapmu.
Miris.
Tak sadarkah kamu betapa kamu kucinta. Aku tak butuh apa pun.
Yang kubutuhkan hanya satu kata cinta darimu. Cukup bagiku, Maya.
***
Berhenti Maya. Menolehlah. Lihat aku. Aku mencintaimu.
***
Kugerakkan garpu di hadapanku sembarang. Mie yang sedari tadi
ku pesan mulai beku sebelum habis ku santap. Aku galau. Andai aku tau siapa
laki-laki itu, pasti akan ku paksa dia untuk mencoba mencintaimu. Hingga kau
tak perlu meninggalkan segalanya seperti ini. Walau ku tau cara itu juga tak
membuatku bisa memilikimu, malah hanya menyakitiku, tapi kamu tentu tau, tak
ada hal yang tak ku lakukan untukmu.
Kata-katamu hari itu masih terngiang di telingaku.
“Aku tak bisa seperti ini
terus. Sudah terlalu lama aku hidup didera. Dan kutau aku menyakitimu. Jadi
lebih baik aku pergi. Agar tak ada lagi yang menderita. Kau, aku, maupun
dirinya, kita tak pantas didera. Namun entah kenapa kita bisa mendera satu sama
lain. Aku hanya ingin menghentikannya sebelum semuanya terlambat”
Dan sejak saat itulah kamu masuk keduniamu sendiri. Terkurung.
Tanpa sedikitpun bisa aku masuk kedalamnya. Pesanku tak pernah kamu balas lagi.
Telfonku tak pernah kamu jawab. Aku sadar sudah begitu jauh kita terpisah.
“Aku akan menunggumu.
Hingga kau siap kembali padaku. Disini. Setiap hari sabtu. Hari pertama kita
bertemu”
Kamu acuhkan memang kata-kataku. Tapi aku serius. Ini sudah
sabtu ke 20 aku menunggumu disini. Di tempat yang dulu sering kita datangi
bersama. Menghabiskan waktu sambil online, atau sekedar bercerita. Dan hari ini
pun, kamu sepertinya tak akan datang.
***
“Maya berubah sekarang,
entah kenapa. Tapi dia jadi tertutup. Ga jarang nangis di kelas. Tapi ga ada
yang tau kenapa”
urai temanmu. Membuatku semakin khawatir akan keadaanmu. Terakhir kali aku
melihatmu, ketika kita tak sengaja bertemu di sebuah toko kaset. Kau memang
berubah. Tubuh itu semakin kurus. Matamu tak lagi bercahaya seperti dulu. Dan
yang membuatku semakin sedih, kamu malah menjauh ketika melihatku.
***
Berhenti Maya. Tingkahmu semakin membuatku terluka.
Tak terasa pipiku hangat. Ternyata airmata perlahan mulai
membasahi pipiku. Sabtu ke 20, kamu tak datang. Akankah ada sabtu-sabtu
berikutnya aku disini menunggumu. Kurasakan hatiku muak. Mungkin rasa sayang
ini belum cukup untuk bahagiakanmu. Aku sadar cinta tak harus memiliki. Dan aku
sadar, cinta tak seharusnya menyakiti. Maka hari ini kuputuskan, untuk
lupakanmu. Lupakan cinta yang pernah setulus hati kuberi padamu. Suatu hari,
keputusanku hari ini akan membuat kita bahagia. Kau benar, kita tak seharusnya
saling mendera.
Aku beranjak dari kursiku. Hendak pergi meninggalkan tempat
ini, selamanya. Kulihat dikejauhan seorang wanita berjalan tergesa-gesa memasuki
cafe. Matanya mencari seseorang. Mata itu, mata yang sangat ku kenali. Dan kini
bersinar seperti saat pertama kali aku melihatnya. Kini ia berada tepat di
depanku.
“Aku siap menjalani lagi
semuanya denganmu”
ucapnya pasti.
***