Friday 19 October 2012

Cerpen ~ Overload Dustbin

Overload Dustbin

GUBRAK !!!
        Mungkin seisi rumah langsung memuntahkan apa yang mereka makan, atau menjatuhkan apa yang mereka pegang gara-gara bunyi itu. Dan benar saja, telingaku langsung menangkap gelombang suara seperti suara para demonstran di jalanan. Suara yang bisa langsung kutafsirkan sebagai ancaman.
        QIAND !!! seru papa, mama, dan kakakku bersamaan.
        Ya, mungkin jika kamu ada di rumahku pun kamu akan melakukan hal yang sama. Siapa yang terima pukul 07.00 pagi sudah di kagetkan dengan bantingan bantal ke pintu. Dimana saat-saat seperti ini menjadi waktu tenang untuk sarapan. Tapi tidak untukku.
***
Singkat cerita kini aku sudah ada di depan meja makan. Menatap nasi goreng buatan mama yang bisa kujamin enak seratus persen. Namun yang membuatku tak enak, tatapan orang-orang yang berkumpul di meja ini. Seolah ingin mengulitiku.
“Kenapa pagi-pagi kamu banting-banting pintu Qiand?”, tanya papa padaku.
“Mau sampai berapa kali mama panggil tukang buat benerin pintu kamu itu, ini udah yang ke-lima kalinya”, tukas mama.
“Qi suka sama tukang reparasinya ma”, sahut kakak yang langsung kususul dengan cubitanku di lengannya.
“Qi cuma mimpi buruk kok, trus Qi kaget, yah lempar deh”, jawabku sekenanya.
“Yasudah kalian berangkat sekolah sana, ntar telat lagi”, tutup mama.
***
Kamis sore di sebuah cafe. Aku duduk bersisian dengannya. Menikmati segelas cappucino dingin dan wifi gratis yang disediakan. Kulirik sekelilingku. Rata-rata orang yang sudah berumur yang duduk disini, dan beberapa mahasiswa. Semuanya laki-laki. Aneh memang keputusanku untuk menemaninya hari ini.
Kita tertawa bersama. Membicarakan hal-hal lucu. Bercanda tanpa peduli sekeliling kita. Aku nyaman seperti ini.
“Ga ada cowo ganteng apa” ledekku
“Aku paling ganteng disini”
“Yee, GR banget kamu”
“Iya donk, kalo aku sama kamu, aku harus paling ganteng. Yang lain jelek semua. Kan aku cuma milikmu”
Huh. Aku benci kata-kata seperti itu. Kau mengucapkannya berulang-ulang yang hanya kujawab dengan diam. Mengapa kata-kata seperti “Kita masih pacaran” dan “Kamu mencintaiku” yang beruntun kau ucapkan. Aku gerah.
“Kok diem aja sih.”, tanyamu heran.
“Ian, mungkin mudah bagimu berkata seperti itu. Tapi sadarkah kamu, aku bukan siapa-siapa lagi bagimu. Tolong, hargai perasaanku.”
“Maaf, gitu aja ngambek”
“Huh, kamu ga pernah ngerti Ian. Mungkin kalau rasa ini, udah ga ada. Dan aku juga udah ga di sampingmu. Kamu akan mengerti.”
Mataku berkaca-kaca. Sekejap hilang tawa dan canda tadi. Kubereskan barang-barangku dan berlari meninggalkannya.
***
GEDEBUK.
“Aaaaawwwwww, pake mata donk” teriakku begitu bola basket itu menghantam kepalaku hingga pelipisku berdarah.
“Qi, maaf. Aku ga sengaja. Kita ke UKS ya” suara cowo itu panik.
Tunggu, aku tau suara ini !!! benar saja, ketika ku menoleh, Ian berlutut di depanku. Maka tindakanku selanjutnya adalah berlari meninggalkannya yang berusaha memanggilku. Mengabaikannya.
***
Aku masuk ke UKS, sepi. Kucari kotak obat dan langsung mengobati lukaku. Aku duduk di tepi ranjang.
“Seandainya menutup luka hati yang kau toreh semudah menutup luka ini” batinku.
Ponselku berdering, satu pesan masuk.
“Kmu gpp Qi ?. Ak khwtir. Maafin ak, bsa ktmu nnti plang skolah di tman biasa?”. Ian.
Huft. Aku menghela nafas panjang. Kamu pasti mau curhat lagi.
Jujur aku lelah. Selalu mendengarkanmu. Memberi saran. Menghibur kala kau sedih. Ikut tertawa jika kau senang. Mungkin jika aku cewe lain, sudah lama aku meninggalkanmu. Tapi karena aku Giandra Qiandwifa, aku punya kemampuan membaca hati dan pikiranmu. Kemampuan ini membuatku selalu tau apa pun tentangmu. Kecuali, perasaanmu padaku. Aneh memang. Awalnya aku senang punya kemampuan seperti ini. Tapi lama kelamaan, aku merasa jadi seperti tong sampahmu. Yang kau datangi hanya ketika kau punya sesuatu yang harus kau buang. Dan ini perlahan mengikis hatiku. Perih.
Kumatikan ponselku dan berjalan ke kelas. Anggap hari ini aku tak terima pesan apa-apa darimu.
***
Sepulang sekolah aku langsung menculik kakakku agar ia langsung membawaku pulang. Aku tak mau harus bertemu Ian dulu. Firasatku dia sedang mencariku.
***
“Kmna kmu tdi Qi ??, Ak cape nyariin kmu. Ak k ruma kmu y”
Pesan Ian. Belum sempat ku balas, mama sudah memberitahuku kalau Ian sudah menunggu di luar. Huh. Dengan berat ku langkahkan kakiku menemuinya.
***
Benar dugaanku. Kau ingin hari ini pun aku jadi tong sampahmu. Kau bercerita tentang Dila, lagi. Aku muak mendengar ceritamu. Mendengar wanita yang telah merebutmu dariku itu kini benar kau cintai, meski kau telah putus dengannya dan punya pacar lagi. Huh, kau tau aku sangat anti terhadap pacar orang. Dosa bagiku mendekati yang bukan milikku.
Semenjak kita putus kau selalu mencurahkan segalanya padaku. Segalanya. Dengan siapa kau jatuh hati, siapa wanita yang sedang kau incar. Mungkin selama ini aku terus mendengarkanmu dengan senyum, atau lebih tepatnya seperti tersenyum. Setiap saat ku lihat status facebookmu selalu tertuju untuknya. Dan kau paksa aku memberikan jempolku untuk semua tulisan itu. Bahkan 2 hari yang lalu kau tuliskan lirik lagu Sandaran Hati dari Letto lalu kau tag dia dan teman-temanmu, tapi tak ada aku disana. Apa kau tak pernah mengerti perasaanku, Ian. Tak salah kan hari ini jika ku bilang,
“Kamu tau gimana rasanya jadi aku, Ian?”
“Maksudnya?”
“Kamu tau gimana rasanya begitu berusaha melupakan seseorang, tapi setiap kau terbangun dari tidurmu, selalu wajahnya yang terbayang. Kau lupa semua mimpimu kecuali mimpi tentangnya. Kau selalu memikirkannya sedangkan ia...”
Mataku mulai terasa perih.
“Tak pernah memikirkanmu...”
Airmata perlahan mengalir dari ujung mataku. Perih, Ian. Inilah yang kurasakan saat ini. Rasa ini yang sudah berbulan lamanya kutahan agar kau tak tau. Rasa ini yang terus ku pungkiri agar aku tegar mendengar ceritamu. Dan hari ini rasa ini berdemo untuk keluar.
Kulihat kau tertegun. Kau berusaha menarik lenganku, tapi ku tepis. Kupalingkan wajahku. Berharap kau tak tau aku menangis. Kau tak boleh tau.
“Kasian ya kamu”, ucapmu pelan.
Oh Ian. Hanya kata itukah yang bisa kau ucapkan. Airmataku semakin berlinang. Aku pusing. Tapi ku tahan untuk tak bersandar di bahumu. Aku ingin kuat, Ian. Aku ingin melangkah. Hidupku sudah lama kutau tak disini.
“Iya, kasian ya jadi aku. Kamu ga akan pernah ngerti, kamu ga rasain apa yang aku rasain.”
Hening sejenak.
“Aku pikir karena kamu punya banyak pacar, lalu kamu pernah bilang kalau kamu cinta Fariz. Aku pikir rasa itu ga ada lagi buatku. Kamu tau kan alasan aku selalu kesini. Karena aku cinta kamu, Qi. Kamu teman dan pacar terbaikku. Kamu tau aku ga akan dengerin orang lain selain kamu. Tapi...”
“Cukup Ian. Aku tau cinta seperti apa yang kita jalani dulu. Aku tau rasa yang sama-sama kita rasakan saat kita harus berpisah. Namun aku selalu memilih untuk mengalah. Aku mengerti aku tak harus selalu memilikimu. Saat kulihat sinar wajahmu bahagia bersamanya, aku merelakanmu. Walau aku yang merubahmu, walau aku yang mengenalkan semuanya padamu. Tapi jika rasa sayangmu telah terbagi untuknya, aku tak ingin jadi penghalang. Aku bahagia jika kau bahagia.”
Terisak ku ungkapkan semuanya. Berton-ton beban yang selama ini menumpuk di relung hatiku perlahan keluar bersama perasaan dan airmataku.
“Kebersamaan kita memang menyakitiku, Ian. Tapi semoga tak menyakitimu.”
Kau mulai merasa bersalah.
“Maaf, aku banyak salah sama kamu.”
Kau mendekapku erat. Aku tak bisa lagi menahan tangisanku. Aku telah lama didera. Kurasa kau mengerti. Kau pun ingin menangis, tapi tak ingin dilihat. Beberapa saat hanya isakanku yang terdengar. Lalu kau mengambil langkah. Beranjak, pulang, meninggalkanku. Batinku seolah terinjak oleh sikapmu ini. Kau mengelus lembut kepalaku. Tapi aku langsung berlari ke kamar. Menangis sejadi-jadinya. Agar hari ini menjadi hari terakhir aku dan kamu.
Kau lelaki pengecut, Ian. Delapan bulan kita bersama, tak membuatmu bisa menghargaiku sedikit saja. Kau selalu inginkanku, dan dia. Kau lelaki serakah. Namun aku, tak bisa tak mengalah demi semua keinginanmu. Aku tau itu hidupmu. Namun aku tak suka kau terus berlari setiap kali kau temui masalah di jalanmu. Dan aku juga tak suka selalu menyelesaikannya untukmu.
Pias.
***
Facebook...
Giandra Qiandwifa “Wajahmu tadi sore tak akan pernah ku lupakan. Terima kasih sudah mendekapku kala ku menangis. Semoga kita bertemu di waktu yang lebih baik J” *selamattinggal08052010selamanyaa...
Anda dan 9 teman lainnya menyukai status ini
Coment

Created : 27/02/2011