Saturday 20 October 2012

Cerpen ~ Antara Mengerti, dan Dimengerti

Antara Mengerti, dan Dimengerti

Sore ini gerimis. Hal yang seumur hidup paling dibenci gadis itu. Tetesan air yang jatuh dari langit seolah bangga menahannya untuk tidak terburu-buru meninggalkan kampus hari ini. Ia meraih ponsel di dalam tasnya. Membuka contac list, mencari-cari nama seseorang, kemudian menghubunginya tak sabaran.

“Jadi jemput ga sih? Kamu ga tau aku uda nungguin kamu dua jam, di tambah hujan gerimis, bajuku basah, kamu tau aku harus buru-buru pulang hari ini, tugasku numpuk, aku mulai kedinginan dan kamu dimana?” omelnya tanpa henti.
Suara di ujung sana belum terdengar.
“Ris?” panggilnya tak sabaran.
“Iya iya, sabar. Ini juga lagi di jalan mau jemput kamu, aku neduh bentar. Kamu kan tau ini hujan. Aku ga mungkin jemput kamu di hujan sederas ini. Tungguin hujannya reda ya sayang.” Ucap suara di seberang, mencoba menenangkannya.
“Ah, ga usah lah. Aku pulang sendiri aja. Kamu ga perlu lagi jemput-jemput aku” gadis itu mulai gusar.
Ia mematikan telfon tanpa menunggu pembelaan dari ujung telfon. Dan benar saja, hujan turun makin deras. Seolah mengejeknya karena gadis itu tak berdaya melawannya. Ya, Feby benci hujan.
***
Feby tiba di rumah dengan basah kuyup. Segera ia mengganti baju dan duduk di depan TV sambil menikmati secangkir teh hangat buatan mama. Ia melirik ponsel di sebelahnya.
Perlukah aku mengabari pacarku bahwa aku sudah di rumah? Ah, kurasa tak perlu. Aku masih marah padanya. Pikirnya dalam hati.
Dan ia pun melanjutkan kegiatannya menonton TV hingga malam usai. Mengabaikan semua tugas yang masih menumpuk, hanya gara-gara mood-nya sedang tak baik.
***
Pagi ini Feby sudah tiba di kampus. Seperti biasa, ia mendamparkan diri di kantin, menunggu kekasihnya datang.
Tak lama kemudian terlihat sesosok laki-laki berkemeja biru menggendong tas ransel hitam yang sangat ia hapal. Seperti biasanya, sosok itu masih tetap terlihat dingin. Bagi Feby, laki-laki itu lebih tepat diibaratkan sebongkah gunung es, dari pada seorang manusia di umur 20-an. Dan sosok itu perlahan menghampirinya, dan kini mengambil posisi tepat di sebelahnya.
“Pagi.” Sapanya dingin, seperti biasanya.
Hah, cuma “Pagi”? Ga sadar apa semalem uda batal jemput aku dan biarin aku pulang sendirian di tengah hujan? Laki-laki macam apa sih ini?. Gerutu Feby dalam hati.
“Diem aja. Mogok ngomong neng” tanyanya.
“Ga lucu.” jawab Feby singkat.
“Hmmm. Masih marah yah?”
“Menurut kamu?”
“Ga tau sih. Tapi keliatannya kamu marah. Maaf deh kalo gitu.”
“Itu? Cuma itu yang bisa kamu bilang? Kamu inget ga sih semalem aku pulang basah kuyup itu karena kamu ga jemput aku.”
“Lho, kan hujannya deras. Aku kan nyuruh kamu nunggu. Kamu sendiri yang ga mau nunggu.”
“Aku buru-buru Ris, kamu tau tugasku numpuk di rumah, dan semalem juga jadinya aku ga mood ngerjain tugas gara-gara ngambek sama kamu. Semuanya gara-gara kamu.” nada bicara Feby meninggi.
“Itu sih emang kamunya yang males. Kenapa nyalahin aku sih. Jelas-jelas kamu tau tugas kamu banyak, kalo gitu ga usah pake acara ngambek lah. Kan jadi ga mood ngerjain tugasnya. Kamu masih labil deh.”
“Tapi kamu yang ngancurin mood aku!!!”
“Bukan aku sayang, hujan.”
BRAAKK.
Feby memukul meja dan berlari meninggalkan laki-laki itu. Ia tau ia tak akan menang melawan Aris, kekasihnya. Apalagi ketika Aris mulai bilang ia labil, ia benci. Jadi ia memilih meninggalkan kantin. Mencari tempat yang bisa membuatnya tenang sejenak.
Feby sampai di pelataran utara kampus. Ia menyandarkan tubuhnya di bawah pohon yang rindang, mencoba menarik nafas dalam. Menutup mata. Menenangkan pikiran. Kadang ia bingung. Bagaimana laki-laki yang sudah dipacarinya hampir satu tahun itu mencintainya. Selama ini sikap Aris sering terlihat dingin dan acuh. Tak jarang kejadian seperti tadi pagi terjadi. Ketika Feby marah, bukannya menenangkan, Aris malah terlihat cuek. Lama-lama Feby geram dibuatnya. Terasa tak pernah cukup stok kesabaran Feby demi menghadapi Aris. Meskipun kadang ia marah hanya untuk menarik perhatian Aris. Tapi sikap laki-laki itu tak berubah. Tetap sedingin gunung es. Mengacuhkan gadis itu.
***
Kelas hari ini telah usai. Amarah Feby pun mulai ternetralisir dengan candaan dosennya – Mas Aji, yang memang terkenal sebagai dosen dengan selera humor nomor satu di seantero kampus. Mungkin karena jiwanya yang masih muda. Di umur 23 Mas Aji sudah mulai mengajar di kampus ini. Feby bisa tertawa-tawa sendiri kalau sudah teringat lelucon Mas Aji.
Feby berjalan menuju kantin. Ia mendapati sahabatnya – Lisa, disana.
“Siang Sa, lagi apa?” sapa Feby ceria.
“Baru mau makan By. Bareng yuk. Hmm, tumben ketawa-ketawa sendiri. Kalo aku tebak nih, kamu pasti abis dapet surprise dari Aris. Atau kena kutukannya Mas Aji ya.”
“Hahahahaha. Iya nih. Kutukan Mas Aji bikin aku kasmaran.” Goda Feby
“Hmm, tobat By, inget Aris. Lagian Mas Aji tuh punyaku. Jangan di flirting juga napa.” sahut Lisa cemburu.
“Hehehe, ya ngga lah Sa. Aku kan tau cintanya Mas Aji tuh Cuma buat Harlisa Nadia seorang. Ga ada deh cewe yang bisa gantiin kamu di hatinya Mas Aji.” Feby kembali menggoda Lisa.
“Iiiih, bisa aja ni bocah.”
Mereka pun tertawa-tawa bersama. Feby senang menggoda sahabatnya yang satu ini. Sifat Lisa yang dewasa banyak mengajarinya tentang berbagai hal, termasuk urusan cinta. Pipi Lisa selalu merona setiap membicarakan Mas Aji, dosen yang sudah satu tahun menjadi kekasihnya. Feby senang melihat rona merah di pipi sahabatnya itu.
“Eh By, kamu mau ngasih apa ke Aris.” tanya Lisa.
“Ngasih apa? Emang ada acara apa? Perasaan ulang tahun Aris masih lama. Lagian aku lagi ga mood sama dia Sa. Ga usah ngebicarain Aris deh untuk sekarang ini.”
“Huuuh, Aris uda mau pergi juga, masiiiiih aja ngambek-ngambekan. Jangan kaya anak TK dong By.”
“Pergi? Kemana?.”
“Lho? Aris ga ngasih tau kamu? Aris kan mau pindah minggu depan. Keluarganya pindah lagi, jadi dia terpaksa ikut.”
“Kamu tau darimana Sa? Aris ga ngasih tau aku tuh.” Feby mulai cemas.
“Aku kan tetangganya By.”
Feby terdiam. Mengapa Aris tidak memberitahunya hal sepenting ini. Aris mau pergi. Meninggalkannya. Kurang dari satu minggu lagi. Tapi ia tak tau apa-apa.
***
Aris berada di ruang tamu rumah Feby sekarang. Mereka berdua sedang terlibat pembicaraan serius. Keduanya sama-sama tegang. Hingga hanya suara semilir angin yang terdengar menemani suasa malam disana.
“Kamu mau pindah, dan ga ngasih tau aku?” tanya Feby hati-hati.
“Iya. Minggu ini rencananya. Maaf By, awalnya aku pikir aku ga harus pindah. Jadi aku ga ngasih tau kamu. Aku ga mau kamu mikir macem-macem. Keputusan aku ikut pindah pun baru pagi ini. Aku tau kamu pagi tadi marah padaku. Jadi aku tak berani memberitahumu. Tapi aku pasti akan memberitahumu segera.”
“Ga perlu Ris. Itu ngebuktiin kalo aku ga penting buat kamu. Satu kampus tau kamu bakalan pindah, kecuali aku. Siapa aku ini untukmu?” tanya Feby kecewa.
“Bukan begitu maksudku By. Jika aku memberitahumu tadi pagi, otomatis suasana tambaha kacau, kamu pasti tambah marah. Karena aku harus ninggalin kamu.” Aris berusaha menenangkan kekasihnya.
Feby diam. Tentu perasaannya sedih saat ini. Belum habis amarahnya karena Aris tak bisa mengertinya, kini ia harus kehilangan Aris pula. Beban memenuhi dada Feby saat ini. Apa yang harus ia lakukan.
Aris tak bisa berbuat banyak.
“Ris, aku ga sanggup jalani semua ini denganmu lagi. Ku fikir kamu akan mengerti keadaan aku. Ternyata akhir-akhir ini ketika aku butuh motivasi dari kamu, kamu malah cuek dan ga peduli sama aku. Dan sekarang kamu mau pergi tanpa memberitahuku. Ris, aku kehilangan arti hadirmu di hidupku.”
Aris diam mendengar penuturan Feby. Sebagai laki-laki harga dirinya di pertaruhkan. Ia tak mungkin memohon-mohon pada Feby, meskipun Feby wanita yang dicintainya. Meskipun hatinya sakit mendengarnya, ia percaya jika Feby mencintainya maka tak ada hal buruk yang akan terjadi.
“By, maafin aku ga bisa ngasih dukungan ke kamu saat kamu butuh. Terlebih sekarang aku terpaksa meninggalkanmu. Aku... Aku cuma... Ga ngerti...” ucap Aris terbata.
“Itulah masalahmu Ris, kamu ga akan pernah mengerti aku.” Feby mulai pias
“Huufft. Kita sudah sama-sama dewasa By. Bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Aku ga mau berantem gara-gara hal kecil. Kita akan terpisah jarak yang cukup jauh. Aku ingin semuanya baik-baik saja. Aku mencintaimu Feby. Aku telah memilihmu, sampai hari ini. Tapi aku tetap tak bisa apa-apa jika kau tak memilihku.”
Suasana hening.
“Kamu tak bisa menjalani hubungan jarak jauh denganku By? Tak apa untukku. Aku pun tak ingin menyakitimu. Aku serahkan semua keputusannya di tanganmu. Aku percaya kamu. Apa yang kamu putuskan pasti terbaik untuk kita.”
Suasana kembali hening. Ruang tamu itu semakin terasa sunyi seperti tak ada seorang pun disana. Feby mulai galau. Aris pasrah, yakin pada pendiriannya.
“Kamu la....”
“Cukup Ris. Jangan lagi sebut aku ga dewasa, aku labil. Aku muak. Kamu selalu bilang begitu.”
“Itu karena kamu memang masih labil Feby.”
“Oke. Tadi kamu bilang aku yang putuskan semua kan. Sekarang aku putuskan untuk berjalan sendiri, tanpa kamu lagi.”
Feby menggenggam erat tangannya. Perasaannya campur aduk. Gusar, kecewa, sedih, marah.
“Ya udah kalo gitu. Jaga dirimu baik-baik, Feby.”
Aris pergi meninggalkan rumah Feby. Meninggalkan Feby yang masih duduk terpaku di ruang tamu, dengan segala kegalauan hatinya. Membuat Feby semakin yakin bahwa Aris tak mengerti dirinya. Padahal ia hanya ingin Aris mengalah padanya, ingin Aris memintanya kembali. Ingin Aris tetap di sampingnya. Tapi Aris benar-benar pergi.
Malam itu ia sulit sekali tidur. Otaknya terus memutar kembali kejadian tadi. Secara logika memaksanya membenci Aris. Sedang hatinya masih menginginkan Aris. Ia benar-benar tersiksa malam itu.
***
    Sementara itu di rumah Aris.
    Aris membolak-balikkan badannya. Tak bisa tidur. Bagaimana ia harus memperlakukan Feby sekarang. Ia tak ingin bermain permainan anak-anak lagi sekarang. Ia ingin Feby mengerti. Bahwa jarak bukan tolak ukur cintanya untuk Feby. Tapi Feby masih terlalu labil untuk mengerti hal itu.
    Dinyalakannya lampu di meja belajar. Berharap ia bisa berbuat sesuatu. Ia meraih secarik kertas dan pena. Menulis semua ungkapan perasaannya untuk Feby. Gadis yang mungkin tak akan pernah ia temui lagi dalam hidupnya.
    Ia melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam ransel. Kini ia ragu menyerahkannya pada feby.
***
    Keesokan harinya, di rumah Feby.
    Lisa datang berkunjung. Ia khawatir karena sahabatnya itu tidak terlihat di kampus hari ini. Dan benar saja. Ketika ia sampai di rumah Feby, gadis itu bagai raga tanpa nyawa. Matanya sembab, tubuhnya lemah. Ia tak mau makan. Terlihat jelas beban berton-ton yang dipikulnya saat ini.
    Feby menceritakan semuanya pada Lisa.
“By, harusnya kamu ga ngomong itu terlalu cepat. Seharusnya kamu pikirin matang-matang. Ingat apa yang selama ini pernah kamu lewatin sama Aris. Itu bukan waktu yang sebentar.”
Mendengar perkataan Lisa, Feby tertegun. Mengingat kembali masa-masa indahnya bersama Aris sejak setahun yang lalu. Aris memang bukan laki-laki romantis yang diinginkan setiap wanita, tapi untuk mendapatkan hati Feby, ia rela mencari tempat terindah dimana mereka berdua bisa melihat bintang, untuk menyatakan cintanya disana. Yang langsung di sambut anggukan bahagia Feby kala itu. Feby ingat ia selalu memanggil Aris dengan sebutan orion. Karena orion adalah bintang yang masih tetap bisa di lihat meski langit mendung, yang paling terang, dan dekat dengan bulan. Feby sangat suka bintang. Ia mengagumi orion, yang kini dalam sinar yang lebih dekat, sinar di mata Aris, kekasihnya.
“Tapi Aris ga pernah ngertiin aku Sa." isak Feby tertahan
“Dan apa kamu merasa sudah mengerti Aris?"
Perlahan airmata mulai menitik di sudut mata Feby. Memori masa lalu itu terus terulang di fikirannya. Ia ingat semuanya dengan jelas. Aris pernah tak tidur semalaman hanya karena Feby sedang ingin menonton film horor tengah malam dan ia ingin Aris menemaninya melalui telfon, padahal waktu itu Aris benar-benar lelah. Aris pernah begitu cemas hingga tubuhnya bergetar hebat dan mimisan hanya gara-gara Feby jatuh di ekskul panjat tebing dan pingsan. Aris pernah menemani Feby naik bianglala di ulang tahunnya yang ke-19 padahal ia takut ketinggian. Saat itu, ia terus menggenggam tangan Feby.
Mata dan wajah Feby mulai merah. Ia benar-benar menyesal dan sedih. Perhatian-perhatian kecil dari Aris kini mulai berharga untuknya. Ia sadar Aris bukan seperti laki-laki lainnya. Ia seharusnya tau, dan menerima Aris apa adanya. Ia seharusnya yakin bahwa jarak tak akan menjadi pemisah hatinya dengan Aris. Ia sungguh menyesal kini. Feby terus menangis tergugu di pelukan Lisa. Menyesali kebodohannya menyuruh Aris pergi.
***
    Tiga hari kemudian…
    Hari ini hari sabtu. Hari kepergian Aris. Sudah tiga hari ini mereka tak saling menghubungi. Feby enggan ke rumah Aris untuk mengantarnya. Ia memilih lari ke kampus hari ini. Agar tak ada yang menemukannya.
    Kampus sepi. Tak ada perkuliahan di hari sabtu. Beberapa senior terlihat berkumpul di kantin. Sebagian yang lain berkumpul di lapangan dan tempat kegiatan ekskul berlangsung.
    Feby masuk ke salah satu kelas. Kosong. Kelas ini adalah kelas kesukaan Aris. Kelas dimana dulu sama-sama mereka ikuti di semester pertama. Ia pikir mungkin seharusnya ia di rumah Aris sekarang. Mengantar kepergian Aris. Melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Feby duduk di bangku paling belakang. Ia merasa Aris masih duduk di sampingnya. Pandangannya kosong. Sekosong hatinya. Ia melihat secarik kertas di laci meja Aris. Ia raih kertas itu. Membacanya perlahan. Matanya mulai basah.
Dear, Feby Arestha
Bertemu denganmu bagai menemukan beribu bintang bersinar hanya untukku. Cahaya matamu saat kita pertama bertemu masih tesisa di ingatanku. Cahaya mata yang akhir-akhir ini mulai ku rindukan, karena aku tak melihatnya terpancar lagi dari matamu.
Sifatmu yang ceria merubah hariku. Bagiku, kau pelangi. Kau buat hidupku berwarna. Dan ketika pelangi itu kini hilang dari hidupku, aku kembali ke kehidupanku semula. Kehidupan abu-abuku. Tanpamu.
Feby, kamu tau aku bukan laki-laki romantis nan puitis. Aku bukan Romeo yang rela mati demi Juliet. Aku hanya puguk yang merindukan bulan. Tak bisa ku beri apa yang selalu kau inginkan. Makan malam romantis. Bunga mawar setiap malam minggu. Kejutan di hari ulang tahunmu. Bahkan sekedar perhatian lebih tak bisa ku berikan padamu karena kesibukanku. Tapi aku adalah laki-laki yang tak pernah berhenti berusaha untuk itu. Aku tak pernah menyerah untuk membahagiakanmu. Hanya saja keadaan  belum berpihak pada usahaku. Sehingga aku hanya bisa membuatmu marah, marah, dan marah.
Taukah kau Feby, sejak bertemu denganmu aku selalu berfikir dua kali lebih keras dari sebelumnya. Ku fikir dengan membuatmu tertawa kau tak akan marah lagi padaku. Tapi lelucon-leluconku akhirnya menjadi tak lucu. Dalam hatiku, aku sakit. Feby, kamu tak akan pernah tau bagaimana rasanya. Tak mampu membuat orang yang kau cintai bahagia.
Feby, maafkan aku untuk semua salahku. Maafkan aku tak bisa menjadi apa yang selalu kau impikan. Terlebih aku tak bisa buatmu bahagia.
    Belum terkumpul keberanianku untuk menyerahkan surat ini padamu. Mungkin hanya akan ku buang. Atau ku tinggalkan di tempat dimana aku paling sering memperhatikanmu. Tapi apa pun yang ku lakukan pada surat ini, tak merubah perasaanku padamu. Aku masih tetap mencintaimu, seperti saat pertama kita bertemu.
Forever Yours,
Aris Rahman
***
    Feby menuju rumah Aris secepat yang ia bisa. Beribu penyesalan telah memenuhi hatinya dan sekarang memaksa untuk keluar. Ia ingin melihat wajah Aris. Ingin menggenggam tangannya. Dan membuatnya percaya bahwa ia juga mencintainya. Ia ingin Aris tau ia menunggunya.
    Ia terlambat. Aris sudah pergi satu jam sebelum Feby sampai di rumah Aris. Ia hanya mendapati Lisa disana.
    Feby terduduk lemas. Airmatanya tak berhenti mengalir. Lisa menghampirinya.
    “Feby, mungkin ada kata terlambat untuk semua hal. Tapi tak pernah ada kata terlambat untuk meminta maaf.”
    Lisa mengusap punggung Feby lembut. Airmatanya mulai menitik. Ia mengerti perasaan sahabatnya.
***
    Malam ini malam pertama Feby tanpa Aris. Ia menatap hampa ke luar jendela. Andai Aris masih disini. Tapi ia belum menyerah. Ia raih ponselnya, dan mulai mengetik sebuah pesan. Tidak terlalu panjang. Tapi cukup untuk mengungkapkan semua perasaannya pada Aris.
Aku sadar kini, aku beruntung, bahagia, sempurna, karena aku memilikimu dalam hidupku. Karena engkau mencintaiku. Maka kata yang dapat kuucap hanyalah maaf, dan terimakasih. Maaf, karena aku belum menyempurnakan hatiku dalam mencintaimu. Dan terimakasih, hingga saat ini kau masih mau menerimaku apa adanya. Aku akan terus menunggumu kembali padaku. Dalam waktu yang tak terhitung. Dalam jarak yang tak terukur. Aku mencintaimu.
Forever yours,
Feby Arestha.
Benar seperti perkataan Lisa,
"Jangan pernah memonopoli perhatian, merasa tidak di mengerti padahal belum tentu kamu sudah mengerti dia sepenuhnya."
Marah adalah keadaan dimana pikiran dan lisan sedang tidak bekerja sama dengan hati, yang hanya berbuah penyesalan di akhirnya.

Created : 18/02/2012