Untukmu yang entah dimana saat ini,
disini kutuliskan kisahnya.
Kita pertama kali bertemu beberapa
tahun silam. Tepatnya tahun 2007. Aku ingat itu salah satu senja yang indah
ketika matahari menggoreskan cahaya kemerahan berpadu dengan kuning keemasan di
langit yang perlahan gelap, di ujung dermaga, aku melihatmu. Seseorang dengan
kemeja putih. Kontras sekali dengan semburat cahaya dan temaram senja ini.
Menyibakkan rambut yang disapa angin lembut. Begitu mempesona. Kau berdiri
beberapa puluh meter dariku. Tapi bayanganmu kala itu menyentuhku. Sebersit
keinginan muncul dalam benakku, aku ingin berdiri lebih dekat, ingin
menyentuhmu, bukan hanya bayanganmu. Sepersekian menit berikutnya ketika aku
tersadar dari lamunan itu, bayanganmu sudah hilang. Kau sudah pergi.
Hari-hari selanjutnya aku makin rajin
mengunjungi dermaga. Berharap bisa menemukanmu lagi di antara kemilau cahaya
senja. Atau paling tidak, melihat bayanganmu. Mungkin kali ini aku bisa
mengejarnya. Tapi beberapa minggu kemudian kegiatan ini terasa sia-sia. Bahkan
bayanganmu tidak ada disana. Aku mulai merasa jenuh dan bodoh. Mengejar
bayangan adalah ide yang gila. Maka aku beranjak dari ujung dermaga di senja
itu dan berharap ketika aku meninggalkan tempat ini, aku bisa melupakan
semuanya.
Waktu demi waktu berlalu begitu saja.
Saat ini aku sedang sibuk dengan berbagai tugas perkuliahan dan ujian tengah
semester. Hampir tidak ada lagi waktu untuk bernafas tanpa memegang buku
pelajaran di tanganku. Tapi aku harus berjuang. Aku ingin cepat lulus dari universitas
ini. Dengan peringkat terbaik tentu saja. Kata-kata itu terus memotivasiku
untuk tetap bertahan meskipun kadang aku ingin berhenti. Untuk tetap berlari
meskipun sebenarnya aku sangat lelah dan ingin berjalan perlahan saja.
Namun rutinitas tak pelak membuatku
jenuh juga. Semua presentasi itu, makalah, kuis demi kuis, semuanya terus
berdatangan tanpa memberiku kesempatan untuk menyelesaikannya satu per satu. Aku
sadar aku sangat butuh udara baru, angin baru. Maka senja ini, kuputuskan untuk
mengunjungi tempat favoritku dulu, tempat yang sudah lama sekali tidak ku
injakkan kakiku kesana, ke dermaga.
Senja tidak terlalu mempesona hari
ini meskipun ia tetap saja anggun di mataku. Hari ini mendung. Awan hitam
menutupi matahari yang perlahan kembali ke pelukan malam. Tidak terlalu banyak
semburat cahaya seperti biasanya. Dan sepertinya hujan hendak turun pula. Namun
aku belum ingin beranjak. Bagaimanapun aku suka pemandangan ini, angin ini,
suara ombak ini. Dan... siapa laki-laki di ujung sana itu? Sepertinya pernah
bertemu di suatu tempat.
Rasa penasaran dengan sosok laki-laki
yang kali ini ku lihat berkemeja biru sebiru langit mendung membuatku
berlari-lari kecil menghampirinya. Dan ketika ia hanya berjarak satu meter dari
ku barulah aku sadar, dia laki-laki berkemeja putih yang ku lihat tempo hari.
Aku langsung menyapanya. Menanyakan mengapa ia ada di tempat seperti ini,
karena biasanya jarang sekali orang yang mau mengunjungi dermaga yang sudah
tidak terpakai ini menjelang malam.
Dan tahukah apa jawabannya? Ternyata
ia juga suka senja di dermaga ini. Bertahun-tahun sudah ia mengenal senja
disini, mungkin jauh sebelum pertama kali aku mengenalnya pula. Menyenangkan
rasanya ketika bertemu dengan seseorang yang sama kesukaannya denganmu. Kau dan
aku bercerita begitu banyak seperti sudah lama saling mengenal. Hingga tak
terasa hari semakin gelap. Kita pulang meninggalkan dermaga ini dengan janji
akan bertemu lagi esok. Namun kali ini, aku pulang dengan jatuh cinta.
Senja-senja berikutnya kita semakin
sering bertemu. Semakin dalam bercerita dan saling mengenal satu sama lain. Aku
menjulukimu bias keemasan di dermagaku. Aku menyukaimu. Aku jatuh cinta padamu.
Hanya saja aku tidak pernah tau apakah kau merasakan hal yang sama, karena kau
tidak pernah bilang padaku.
Berbulan-bulan kita dekat dan aku
terus berharap. Menunggu dan menunggu yang keluar dari mulutmu bukan lagi
sapaan “Hai, teman” karena yang kuinginkan lebih dari itu. Aku melakukannya
begitu saja, tanpa rasa lelah sedikit pun. Karena mencintaimu tidak datang
begitu saja, maka ia juga tidak bisa menghilang begitu saja. Tidak semudah
bayangan yang menghilang jika matahari tak tampak lagi di ufuk barat,
perasaanku padamu tetap membekas jelas meskipun senja berganti malam. Aku terus
menunggumu, terus menunggumu, hingga hari ini.
Suatu hari kau pergi menghilang
begitu saja. Tanpa salam perpisahan ataupun pemberitahuan sebelumnya. Aku
mencarimu kemana-mana. Ke kampusmu, ke rumahmu, ke tempat teman-temanmu, ke
dermaga itu. Tapi nihil. Kau tidak ada dimanapun. Aku yakin tidak berbuat
kesalahan terhadapmu maka aku tidak menyerah untuk menemukan sosokmu. Meskipun
aku tidak tau engkau ada dimana, sedang apa, dan bersama siapa. Menunggumu
seolah sudah mendarah daging di tubuhku. Ini tidak mudah tentu saja. Biasmu
terlalu menyilaukan aku untuk berpaling ke laki-laki lain.
Aku sudah menunggu lama sekali.
Sekitar 4 bulan pencarianku ini menjadi rutinitas. Namun kamu tidak juga
muncul. Pernah satu kali aku bertanya pada temanmu sedang apa kau sekarang,
mengapa kau meninggalkanku. Dan temanmu hanya menjawab bahwa kau sedang sibuk,
aku diminta untuk mengerti, lagi. Dan aku melakukannya, aku melakukannya dengan
baik, tapi mengapa aku tetap tidak bisa mendapatimu berdiri di hadapanku
segera.
Seperti wanita lain aku juga lelah
dalam penantianku. Namun setiap kali aku mencoba berhenti dan merelakanmu,
Tuhan selalu memberiku sinyal-sinyal agar aku tidak melakukan itu. Dan karena
aku percaya Tuhan selalu punya rencana yang terbaik di balik semua kabut
penderitaan ini, maka aku melanjutkan bersabar menantimu.
Banyak sekali pertanyaan yang ingin
ku lontarkan. Mengapa hari itu kau berkemeja putih? Mengapa kau suka senja?
Mengapa kau selalu terlihat seperti hanya sebuah bayangan untukku? Mengapa aku bisa
jatuh cinta? Dan mengapa kau meninggalkanku? Tapi hanya ombak yang mendengarkan
semua itu. Kau tahu, tanpamu bahkan semburat merah keemasan matahari tak lagi
terlihat anggun di mataku. Tanpa kau yang berada di sisiku, senja terlihat
biasa saja.
Kumohon, beri diam ini sedikit melodi
agar kita tau sudah dimana kita berpijak.
Harus berapa senja lagi yang
kuhabiskan untuk menunggumu disini? Cukupkah sisa umurku? Aku melakukan semua
ini tanpa pernah tau perasaanmu padaku, siapa aku di matamu, ini terdengar
sangat bodoh. Namun cinta ini memang sangat sulit untuk dijabarkan. Mengapa dan
mengapa. Bisakah senja kali ini aku berhenti? Bukan karena aku lelah dan tidak
mencintaimu lagi, hanya saja mungkin cinta ini mengarah bukan pada orang yang
tepat. Bisakah biarkan Tuhan saja yang mengetahui penderitaanku selama
menantimu? Dan senja di dermaga ini menjadi saksi bisu tiap tetes airmata yang
jatuh karenamu.
Bias keemasan di dermagaku, aku tidak
pernah menyesal pernah bertemu dan mengenalmu, kemudian jatuh cinta padamu.
Hari itu aku yang terpesona pada kemilaumu diantara cahaya senja, aku juga yang
berani memeluk bayanganmu, dan datang menghamipirimu demi sebuah kisah baru.
Alasan yang seharusnya kuat untuk membuatku tidak marah jika kenyataannya kau
tidak pernah mencintaiku. Aku hanya lelah, aku hanya ingin berhenti. Perlahan aku
akan menutup luka ini. Menghapus bayang semu, dan membiasakan berdiri sendiri
di ujung dermaga ini, dalam diam.
Aku yakin, tanpamu pun aku masih bisa
berjalan, meski terpincang-pincang.
Suatu hari nanti jika Tuhan
mengijinkan, kita akan dipertemukan lagi oleh senja, di tempat yang berbeda.
Kali ini biarlah cerita kita hanyut terbawa ombak. Semoga dengan berakhirnya
tulisanku untukmu, di ujung dermaga ini, aku mulai bisa melupakanmu dan
melanjutkan hidupku.
No comments:
Post a Comment