Saturday 30 March 2013

Cerpen ~ Senja

Untukmu yang entah dimana saat ini, disini kutuliskan kisahnya.

Kita pertama kali bertemu beberapa tahun silam. Tepatnya tahun 2007. Aku ingat itu salah satu senja yang indah ketika matahari menggoreskan cahaya kemerahan berpadu dengan kuning keemasan di langit yang perlahan gelap, di ujung dermaga, aku melihatmu. Seseorang dengan kemeja putih. Kontras sekali dengan semburat cahaya dan temaram senja ini. Menyibakkan rambut yang disapa angin lembut. Begitu mempesona. Kau berdiri beberapa puluh meter dariku. Tapi bayanganmu kala itu menyentuhku. Sebersit keinginan muncul dalam benakku, aku ingin berdiri lebih dekat, ingin menyentuhmu, bukan hanya bayanganmu. Sepersekian menit berikutnya ketika aku tersadar dari lamunan itu, bayanganmu sudah hilang. Kau sudah pergi.

Hari-hari selanjutnya aku makin rajin mengunjungi dermaga. Berharap bisa menemukanmu lagi di antara kemilau cahaya senja. Atau paling tidak, melihat bayanganmu. Mungkin kali ini aku bisa mengejarnya. Tapi beberapa minggu kemudian kegiatan ini terasa sia-sia. Bahkan bayanganmu tidak ada disana. Aku mulai merasa jenuh dan bodoh. Mengejar bayangan adalah ide yang gila. Maka aku beranjak dari ujung dermaga di senja itu dan berharap ketika aku meninggalkan tempat ini, aku bisa melupakan semuanya.

Waktu demi waktu berlalu begitu saja. Saat ini aku sedang sibuk dengan berbagai tugas perkuliahan dan ujian tengah semester. Hampir tidak ada lagi waktu untuk bernafas tanpa memegang buku pelajaran di tanganku. Tapi aku harus berjuang. Aku ingin cepat lulus dari universitas ini. Dengan peringkat terbaik tentu saja. Kata-kata itu terus memotivasiku untuk tetap bertahan meskipun kadang aku ingin berhenti. Untuk tetap berlari meskipun sebenarnya aku sangat lelah dan ingin berjalan perlahan saja.

Namun rutinitas tak pelak membuatku jenuh juga. Semua presentasi itu, makalah, kuis demi kuis, semuanya terus berdatangan tanpa memberiku kesempatan untuk menyelesaikannya satu per satu. Aku sadar aku sangat butuh udara baru, angin baru. Maka senja ini, kuputuskan untuk mengunjungi tempat favoritku dulu, tempat yang sudah lama sekali tidak ku injakkan kakiku kesana, ke dermaga.

Senja tidak terlalu mempesona hari ini meskipun ia tetap saja anggun di mataku. Hari ini mendung. Awan hitam menutupi matahari yang perlahan kembali ke pelukan malam. Tidak terlalu banyak semburat cahaya seperti biasanya. Dan sepertinya hujan hendak turun pula. Namun aku belum ingin beranjak. Bagaimanapun aku suka pemandangan ini, angin ini, suara ombak ini. Dan... siapa laki-laki di ujung sana itu? Sepertinya pernah bertemu di suatu tempat.

Rasa penasaran dengan sosok laki-laki yang kali ini ku lihat berkemeja biru sebiru langit mendung membuatku berlari-lari kecil menghampirinya. Dan ketika ia hanya berjarak satu meter dari ku barulah aku sadar, dia laki-laki berkemeja putih yang ku lihat tempo hari. Aku langsung menyapanya. Menanyakan mengapa ia ada di tempat seperti ini, karena biasanya jarang sekali orang yang mau mengunjungi dermaga yang sudah tidak terpakai ini menjelang malam.

Dan tahukah apa jawabannya? Ternyata ia juga suka senja di dermaga ini. Bertahun-tahun sudah ia mengenal senja disini, mungkin jauh sebelum pertama kali aku mengenalnya pula. Menyenangkan rasanya ketika bertemu dengan seseorang yang sama kesukaannya denganmu. Kau dan aku bercerita begitu banyak seperti sudah lama saling mengenal. Hingga tak terasa hari semakin gelap. Kita pulang meninggalkan dermaga ini dengan janji akan bertemu lagi esok. Namun kali ini, aku pulang dengan jatuh cinta.

Senja-senja berikutnya kita semakin sering bertemu. Semakin dalam bercerita dan saling mengenal satu sama lain. Aku menjulukimu bias keemasan di dermagaku. Aku menyukaimu. Aku jatuh cinta padamu. Hanya saja aku tidak pernah tau apakah kau merasakan hal yang sama, karena kau tidak pernah bilang padaku.

Berbulan-bulan kita dekat dan aku terus berharap. Menunggu dan menunggu yang keluar dari mulutmu bukan lagi sapaan “Hai, teman” karena yang kuinginkan lebih dari itu. Aku melakukannya begitu saja, tanpa rasa lelah sedikit pun. Karena mencintaimu tidak datang begitu saja, maka ia juga tidak bisa menghilang begitu saja. Tidak semudah bayangan yang menghilang jika matahari tak tampak lagi di ufuk barat, perasaanku padamu tetap membekas jelas meskipun senja berganti malam. Aku terus menunggumu, terus menunggumu, hingga hari ini.

Suatu hari kau pergi menghilang begitu saja. Tanpa salam perpisahan ataupun pemberitahuan sebelumnya. Aku mencarimu kemana-mana. Ke kampusmu, ke rumahmu, ke tempat teman-temanmu, ke dermaga itu. Tapi nihil. Kau tidak ada dimanapun. Aku yakin tidak berbuat kesalahan terhadapmu maka aku tidak menyerah untuk menemukan sosokmu. Meskipun aku tidak tau engkau ada dimana, sedang apa, dan bersama siapa. Menunggumu seolah sudah mendarah daging di tubuhku. Ini tidak mudah tentu saja. Biasmu terlalu menyilaukan aku untuk berpaling ke laki-laki lain.

Aku sudah menunggu lama sekali. Sekitar 4 bulan pencarianku ini menjadi rutinitas. Namun kamu tidak juga muncul. Pernah satu kali aku bertanya pada temanmu sedang apa kau sekarang, mengapa kau meninggalkanku. Dan temanmu hanya menjawab bahwa kau sedang sibuk, aku diminta untuk mengerti, lagi. Dan aku melakukannya, aku melakukannya dengan baik, tapi mengapa aku tetap tidak bisa mendapatimu berdiri di hadapanku segera.

Seperti wanita lain aku juga lelah dalam penantianku. Namun setiap kali aku mencoba berhenti dan merelakanmu, Tuhan selalu memberiku sinyal-sinyal agar aku tidak melakukan itu. Dan karena aku percaya Tuhan selalu punya rencana yang terbaik di balik semua kabut penderitaan ini, maka aku melanjutkan bersabar menantimu.

Banyak sekali pertanyaan yang ingin ku lontarkan. Mengapa hari itu kau berkemeja putih? Mengapa kau suka senja? Mengapa kau selalu terlihat seperti hanya sebuah bayangan untukku? Mengapa aku bisa jatuh cinta? Dan mengapa kau meninggalkanku? Tapi hanya ombak yang mendengarkan semua itu. Kau tahu, tanpamu bahkan semburat merah keemasan matahari tak lagi terlihat anggun di mataku. Tanpa kau yang berada di sisiku, senja terlihat biasa saja.

Kumohon, beri diam ini sedikit melodi agar kita tau sudah dimana kita berpijak.

Harus berapa senja lagi yang kuhabiskan untuk menunggumu disini? Cukupkah sisa umurku? Aku melakukan semua ini tanpa pernah tau perasaanmu padaku, siapa aku di matamu, ini terdengar sangat bodoh. Namun cinta ini memang sangat sulit untuk dijabarkan. Mengapa dan mengapa. Bisakah senja kali ini aku berhenti? Bukan karena aku lelah dan tidak mencintaimu lagi, hanya saja mungkin cinta ini mengarah bukan pada orang yang tepat. Bisakah biarkan Tuhan saja yang mengetahui penderitaanku selama menantimu? Dan senja di dermaga ini menjadi saksi bisu tiap tetes airmata yang jatuh karenamu.

Bias keemasan di dermagaku, aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dan mengenalmu, kemudian jatuh cinta padamu. Hari itu aku yang terpesona pada kemilaumu diantara cahaya senja, aku juga yang berani memeluk bayanganmu, dan datang menghamipirimu demi sebuah kisah baru. Alasan yang seharusnya kuat untuk membuatku tidak marah jika kenyataannya kau tidak pernah mencintaiku. Aku hanya lelah, aku hanya ingin berhenti. Perlahan aku akan menutup luka ini. Menghapus bayang semu, dan membiasakan berdiri sendiri di ujung dermaga ini, dalam diam.

Aku yakin, tanpamu pun aku masih bisa berjalan, meski terpincang-pincang.

Suatu hari nanti jika Tuhan mengijinkan, kita akan dipertemukan lagi oleh senja, di tempat yang berbeda. Kali ini biarlah cerita kita hanyut terbawa ombak. Semoga dengan berakhirnya tulisanku untukmu, di ujung dermaga ini, aku mulai bisa melupakanmu dan melanjutkan hidupku.

No comments:

Post a Comment